Setelah kita memahami perjalanan kehidupan manusia sebelum dilahirkan, dan sekarang kita memasuki saat-saat kita sebagai manusia dilahirkan kedua, kita baru faham makna fitrah dan peran orang tua kita, sebagaimana pesan Nabi Agung, Nabi Muhammad SAW.
“Tidak ada seorang anak pun yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.“ (HR. Muslim)
Hadits yang tidak asing kita dengar, Mayoritas ulama menafsirkan kata “fitrah” dalam hadits ini sebagai:
- Naluri Keimanan (Tauhid): Setiap anak dilahirkan dengan naluri bawaan untuk mengakui eksistensi Allah SWT. Jiwa anak secara alami cenderung kepada kebenaran, kebaikan, dan ajaran Tauhid.
- Keadaan Suci: Anak terlahir dalam keadaan suci, bebas dari dosa dan kesalahan.
- Potensi: Anak memiliki potensi dasar untuk menerima kebenaran. Fitrah adalah “modal” awal yang diberikan Allah kepada manusia.
Inti Hadits: Anak kecil bukanlah penganut agama tertentu sejak lahir, tetapi ia membawa benih ajaran Tauhid. Jika dibiarkan tumbuh tanpa pengaruh, ia akan cenderung kepada kebenaran wahyu ilahi.
Peran Orang Tua dan Lingkungan
Frasa “Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” menunjukkan peran sentral lingkungan, terutama orang tua, dalam membentuk keyakinan dan karakter anak.
Diharapkan, melalui pendidikan yaitu agama dan keyakinan diajarkan dan dibiasakan orang tuanya. Bagaimana orang tua yang tidak melukan pendidikan dan pembiasaan sejak kecil? Sementara jika orang tuanya adalah pemeluk Yahudi, Nasrani, atau Majusi, mereka akan mendidik, membiasakan, dan menanamkan ajaran agama mereka kepada anak tersebut, sehingga mengalihkan fitrah murni anak.
Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad SAW memberikan permisalan dengan hewan ternak yang lahir dalam keadaan sempurna, lalu manusia yang mengubahnya (memotong telinga, atau bisa bertingkah cerdas seperti manusia dll.). Ini menegaskan bahwa fitrah (kesempurnaan/kemurnian bawaan) akan berubah karena campur tangan eksternal (orang tua/lingkungan).
Hadits ini tersebut sangat menekankan tanggung jawab besar orang tua dalam mendidik anak-anaknya sesuai fitrah. Orang tua adalah faktor penentu apakah fitrah anak akan terpelihara dalam Tauhid. Atau dibiarkan teralihkan kepada keyakinan lain?
Sekarang kita kembali melanjutkan, membahas tentang kita manusia, khususnya saat kita dilahirkan. Dalam QS. An-Nahl (16) Ayat 78, yang berbicara tentang momen kelahiran manusia ke dunia dan bekal awal yang diberikan Allah kepadanya.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.”
Disini dijelaskan : Kondisi Lahir dan Modal Awal
- “tidak mengetahui sesuatu pun” (Lā Ta’lamūna Syai’an)
Ayat ini menegaskan bahwa ketika manusia lahir, ia berada dalam keadaan kosong pengetahuan (blank slate) atau ‘lupa akan sesuatu’ yang kita dapatkan saat sebelum dilahirkan. Meskipun fitrah tauhid (Mītsāq di QS. 7:172) telah ada dalam ruhnya, memori, pengetahuan, dan kesadaran tentang detail duniawi ‘belum terbentuk’. Manusia memulai hidupnya dari titik nol pengetahuan, memerlukan pembelajaran dan pengalaman. Sebagaimana fisiknya dari ketika bayi ada pengasuh, pembimbing untuk kemudian bisa berjalan dasn seterusnya.
- “memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati“
Sejalan dengan QS. 32:9, Allah melengkapi bayi yang baru lahir dengan tiga instrumen utama untuk belajar dan memahami: pendengaran (untuk menerima informasi verbal dan bunyi), penglihatan (untuk mengamati alam dan tanda-tanda kebesaran Allah), dan hati/nurani (af’idah) (sebagai pusat akal, perasaan, dan pemahaman). Ketiga indra dan hati ini adalah modalitas belajar yang vital, memungkinkan manusia untuk secara bertahap mengisi kekosongan pengetahuannya (poin 1) dan kemudian secara bertahap mengaktifkan fitrahnya.
- “agar kamu bersyukur“
Ini adalah tujuan akhir dari pemberian modal tersebut. Dengan menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk mengenal Allah, memahami petunjuk-Nya, dan membedakan yang benar dari yang salah, manusia diharapkan menjadi hamba yang bersyukur (taat dan beriman), sesuai dengan pilihan yang diberikan dalam QS. 76:3.
Bagaimana hubungan antara QS. 16:78 dengan konsep ujian yang telah dibahas sebelumnya sangat kuat?!
- Modal Ujian Sudah Diberikan: QS. 76:2-3 dan QS. 32:9 menjelaskan bahwa manusia diciptakan untuk diuji dan dibekali instrumen. QS. 16:78 mengulang penegasan pemberian instrumen tersebut (pendengaran, penglihatan, dan hati) pada saat lahir. Ini menunjukkan bahwa meskipun lahir dalam keadaan kosong pengetahuan, alat untuk mencari pengetahuan dan kebenaran sudah tersedia.
- Arena Ujian Dimulai:
- Saat ruh bersaksi (QS. 7:172): Itu adalah perjanjian awal.
- Saat lahir ke dunia (QS. 16:78): Inilah saat ujian sebenarnya dimulai. Manusia tidak lagi berada di alam perjanjian yang murni, tetapi di alam duniawi yang penuh godaan (fasik dan takwa – QS. 91:8).
- Ujian Kehidupan adalah proses mengisi kekosongan pengetahuan (kondisi lā ta’lamūna syai’an) dengan ilmu yang benar/shahih dan kemudian menggunakan ilmu itu untuk memilih antara takwa (ta’at) dan fasik (ingkar).
- Tujuan Mengaktifkan Fitrah: Tugas manusia di dunia adalah menggunakan modal indra (penglihatan dan pendengaran) dan hati (16:78) untuk menerima petunjuk (hidayah) Allah dan mengaktifkan kembali memori perjanjian primordial (7:172) yang tertanam dalam fitrahnya, sehingga ia bisa menjadi orang yang beruntung (dengan cara) mensucikan jiwa (91:9). Membersihkannya dari Syirik.
Singkatnya, QS. 16:78 menunjukkan bahwa manusia memasuki arena ujian tidak dengan pengetahuan, tetapi dengan alat belajar yang sempurna plus perlunya pembimbing.Dimana ketidktahuan apa-apa saat lahir menjadi syarat agar ujian keimanan dan kepatuhan benar-benar adil dan bermakna.
Ijinkan kami mengutip sebuah puisi, untuk menutup bahasan ini:
“Ibumu telah melahirkanmu duhai manusia dalam keadaan engkau menangis, sedang orang-orang di sekelilingmu tertawa bahagia..
Maka berbuatlah (kebaikan) untuk dirimu agar ketika mereka menangis di hari kematianmu, engkau dalam kondisi tersenyum bahagia.”
(Abul ‘Alaa Al-Ma’arri)

