Fakta yang Akhirnya Terjadi..Ketika di Dunia

bismillah
m5

Selanjutnya Mari kita bahas proses perkembangan manusia: menuju baligh dalam Islam, konsep amanah tauhid, dan fakta yang terjadi di lapangan (dunia).

🕋 Proses Perkembangan Manusia Menuju Baligh dalam Islam

Dalam Islam, perkembangan anak hingga baligh dibagi menjadi beberapa fase yang memiliki implikasi hukum dan pendidikan:

  1. Fase ThufĆ«lah (Kanak-kanak Awal, 0–7 Tahun)
  • Kondisi: Anak berada dalam pengasuhan penuh, statusnya seperti “raja” yang harus dicintai dan dilayani.
  • Implikasi Hukum: Tidak dibebani kewajiban (belum mukallaf).
  • Pendidikan: Fokus pada penanaman kasih sayang, membangun kepribadian dasar, dan menanamkan konsep dasar Tauhid Rububiyah (mengenal Allah sebagai Pencipta dan Pemberi Rezeki) secara informal.
  1. Fase Tamyīz (Membedakan, 7–10/14 Tahun)
  • Kondisi: Anak sudah mampu membedakan hal baik dan buruk (secara akal) dan memahami perintah.
  • Implikasi Hukum: Masih belum mukallaf (pena masih diangkat), namun sudah diperintahkan dan dilatih beribadah.
  • Pendidikan: Ini adalah masa persiapan krusial. Rasulullah SAW memerintahkan: “Perintahkan anak-anakmu shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) pada usia sepuluh tahun...” (HR. Abu Daud). Ini adalah fase pengenalan dan pembiasaan ibadah praktis dan pendidikan akidah/Tauhid Uluhiyah (mengenal Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah).
  1. Fase BulĆ«gh / Akil Baligh (Kedewasaan, 9/12–15 Tahun)
  • Definisi: Sebagai tanda (kedewasaan) biologis (haid bagi perempuan, ihtilam/mimpi basah bagi laki-laki, atau mencapai usia 15 tahun Hijriah).
  • Implikasi Hukum: Terhitung sebagai mukallaf (orang yang dibebani hukum syariat). Pena mulai mencatat amal baik dan buruk secara penuh.
  • Amanah Tauhid: Pada titik ini, anak dianggap siap secara syar’i telah siap untuk menerima ‘Amanah Tauhid’ (mempertanggungjawabkan keimanannya, menjalankan semua kewajiban, dan menjauhi larangan).

💡 Fakta Kesenjangan: Baligh VS Kesiapan Penerimaan Amanah Tauhid

 

Secara syariat, baligh adalah penanda formal kesiapan. Namun, faktanya, banyak anak yang mencapai baligh secara fisik tetapi belum siap secara akil (akal/pemahaman) dan mental untuk menerima amanah Tauhid dan tanggung jawab penuh:

Aspek

Syariat (Ideal)

Realita di Lapangan

Kesiapan

Baligh = Siap menerima Taklif (kewajiban).

Banyak yang Baligh fisik tanpa Aqil (kematangan akal/spiritual).

Tauhid

Amanah Tauhid (landasan hidup) harus sudah tertanam kuat melalui pendidikan pra-baligh.

Tauhid seringkali hanya menjadi pengetahuan hafalan, belum menjadi prinsip hidup (sehingga mudah goyah di masa remaja).

Ibadah

Ibadah fardhu langsung wajib dilaksanakan penuh.

Anak masih merasa ibadah adalah paksaan atau kebiasaan orang tua, bukan kebutuhan pribadi.

Tangung Jawab

Segala perbuatan mulai dicatat penuh (dosa dan pahala).

Tidak memahami konsekuensi hukum, sehingga mudah terjerumus dalam perilaku mungkar.

 

Mengapa Kesenjangan Ini Terjadi?

Kesenjangan antara baligh (fisik) dan kesiapan (akil/spiritual) sebagian besar disebabkan oleh kegagalan dalam fase persiapan (Fase Tamyīz):

  1. Pendekatan Pendidikan yang Salah: Pendidikan agama (Aqidah, Ibadah, Akhlak) seringkali hanya ditekankan sebagai rutinitas (training) dan hafalan, bukan sebagai pembentukan kesadaran dan kecintaan.
  2. Peran Orang Tua yang Absen/Lemah: Orang tua tidak menjalankan peran mereka sebagai pendidik Tauhid yang utama sejak dini (seperti yang diisyaratkan Luqman kepada anaknya dalam Al-Qur’an).
  3. Pengaruh Lingkungan (Hadits “Fitrah”): Lingkungan digital, media sosial, dan pergaulan yang tidak kondusif sering kali mengalihkan fitrah dan fokus anak sebelum mereka mencapai kematangan akal untuk bisa membedakan haq dan batil.

 

Solusi Islam: Menyelaraskan Aqil dan Baligh

Para ulama dan pendidik Islam menekankan perlunya mempercepat aqil (kematangan akal) agar sejalan dengan datangnya baligh (kedewasaan fisik). Ini dilakukan melalui:

  • Pendidikan Tauhid Dini: Bukan menunggu baligh, tetapi menanamkan fondasi Tauhid secara holistik (melalui cerita, teladan, dan mengaitkan keagungan Allah dengan alam/kehidupan sehari-hari) sejak Fase ThufĆ«lah dan TamyÄ«z.
  • Latihan Tanggung Jawab: Memberikan amanah, tugas rumah, dan konsekuensi logis sejak usia tamyiz untuk melatih rasa tanggung jawab dan kemandirian, menyiapkan mereka untuk menerima taklif syar’i yang lebih besar.
  • Teladan Konsisten: Kualitas role model orang tua sangat menentukan. Anak akan lebih siap menerima Amanah Tauhid jika melihat orang tuanya sendiri menjalankan amanah tersebut dengan sepenuh hati.

Dengan demikian, baligh adalah titik awal formal kewajiban, tetapi kesiapan sejati untuk Amanah Tauhid harus dibangun melalui proses pendidikan yang konsisten dan berkualitas jauh sebelum tanda-tanda fisik baligh muncul.

 

Akibatnya kita dapat melihat  kenyataan sosiologis dan spiritual yang dihadapi manusia dewasa setelah mereka lahir ke dunia, yaitu adanya godaan lingkungan yang bertentangan dengan fitrah, serta konsekuensi dari pilihan mereka.

 

Berikut Fakta yang akhirnya terjadi sesuai dengan (peringatan) ayat-ayat Al Qur’an :

  1. Mengikuti Agama Nenek Moyang (QS. Al-Baqarah [2]: 170)

2170

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”

Ayat ini menggambarkan penghalang terbesar bagi manusia untuk kembali kepada kebenaran, yaitu fanatisme buta terhadap tradisi nenek moyang. Setelah lahir dan kehilangan ingatan perjanjian primordial (QS. 16:78), manusia rentan mengikuti lingkungan dan warisan leluhur tanpa menggunakan akal, pendengaran, dan hati (modalitas yang diberikan Allah). ( Ini adalah implementasi dari alasan yang telah Allah tolak dalam QS. 7:173, namun tetap menjadi fakta yang terjadi dalam realitas sosial.)

2. “MEREKA” Akan Menyesatkanmu (QS. Al ‘An’am  (6) :116)

Manusia yang sudah dibekali petunjuk (QS. 76:3) akan menghadapi lingkungan yang berupaya menyesatkan. Mereka justru kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi (mayoritas penduduk bumi) , Lihat  QS. Al-An’am [6]: 116:

6116

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah…”

Ayat ini juga menegaskan bahwa kebenaran tidak selalu berada pada mayoritas. Mengikuti suara terbanyak akan menjauhkan dari petunjuk.

 

SIAPAKAH mereka yang merupakan kelompok-kelompok utama yang dapat menjadi sumber kesesatan:

* Ahli Kitab

 

1. Al-Bayyinah [98]: 1,
981

“Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata”,

2. Al-Baqarah [2]: 105

2150

“Orang-orang yang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari Tuhanmu. Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Dan Allah pemilik karunia yang besar.”

Ayat-ayat ini menyebutkan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Mereka enggan menerima kebenaran Islam. Padahal mereka adalah pihak yang ‘mengetahui kebenaran’, namun menolaknya karena dengki atau kepentingan duniawi, dan berusaha mengembalikan orang beriman kepada kekafiran.

* Orang Kafir

 

(QS. An-Nisa [4]: 150-151):

4150

“Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan1 antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir)”  -150

4151

“merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.” -151

Ayat-ayat ini menjelaskan nasib orang-orang yang memilah-milah antara beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah golongan kafir yang sebenarnya, yang pantas mendapat azab yang menghinakan. Mereka menolak kebenaran dan menjadi adalah salah satu sumber penyesatan.

  • Orang Musyrik

QS. Al-An’am [6]: 100

6100

“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan Jin itu sekutu-sekutu Allah, padahal Dia yang menciptakannya (jin-jin itu), dan mereka berbohong (dengan mengatakan), “Allah mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan,” tanpa (dasar) pengetahuan.1 Maha Suci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka gambarkan.”

Salah satu cara orang-orang  musyrik menyesatkan manusia adalah menganggap jin sebagai sekutu Allah dan bahkan menganggap Allah memiliki anak laki-laki dan perempuan. Orang musyrik adalah sumber kesesatan yang merusak konsep Tauhid, yang merupakan inti dari Mītsāq (Perjanjian Primordial).

  1. Keimanan Tidak Dapat Diturunkan / Diwariskan (QS. Hud [11]: 45-46 dan QS. At-Taubah [9]: 113)

Fakta ini menegaskan prinsip tanggung jawab spiritual individu, terlepas dari status orang tua. Dalam Al Qur’an ada beberapa  kisah yang  bisa diambil hikmahnya, Antara lain Kisah Nabi Nuh dan Anaknya dalam QS. Hud [11]: 45-46:

1145
1146

“Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” – 45

“Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”  – 46

 

Nabi Nuh memohon keselamatan anaknya yang kafir, tetapi Allah menolak, menjelaskan bahwa anak Nuh tersebut bukan termasuk keluarganya yang beramal saleh dan ia adalah perbuatan yang tidak baik (‘amalun ghairu salih).

Implikasi: Hubungan darah tidak menjamin keimanan. Keimanan adalah pilihan pribadi (QS. 76:3) yang harus dipertanggungjawabkan sendiri, bahkan jika orang tua adalah seorang Nabi sekalipun.

Bahkan Allah melarang Memintakan Ampunan untuk Orang-orang Musyrik (QS. At-Taubah [9]: 113):

9113

“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat-(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.”

 

Ayat ini melarang Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik meskipun mereka kerabat, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka.

Implikasi: Keimanan menuntut pemutusan ikatan spiritual dengan kesesatan, bahkan terhadap kerabat terdekat, karena pada akhirnya amal individu yang menentukan nasib di akhirat.

4. Pendengaran, Penglihatan dan Hatinya disia-siakan, Tidak Berguna Akhirnya Allah Tutup Hatinya

Ketika manusia memilih untuk mengikuti kesesatan dan menolak petunjuk yang telah jelas, modalitas utama yang diberikan Allah (pendengaran, penglihatan, dan hati) menjadi sia-sia, dan bahkan ditutup oleh Allah sebagai hukuman.

  • Pendengaran, Penglihatan dan Hatinya Tidak Berguna (QS. Al-Ahqaf [46]: 26):
4626

“Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu, dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah, dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan telah mengepung mereka.”

 

Ayat ini menjelaskan bahwa meskipun kaum ‘Ad diberi kekuatan, harta, dan indera yang sempurna, namun pendengaran, penglihatan, dan hati mereka tidak berguna sedikit pun karena mereka selalu menolak ayat-ayat Allah. Ini menunjukkan bahwa kekuatan fisik atau ketajaman indra biologis tidak sebanding dengan hidayah.

  • Allahpun Tutup Pendengaran, Hati dan Penglihatannya  (QS. Al-Jatsiyah [45]: 23):
4523

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya,1 dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

 

Ini adalah konsekuensi terberat dari pilihan fasik (QS. 91:8). Ketika manusia secara sadar dan terus-menerus menuhankan hawa nafsu dan menolak petunjuk, Allah akan membiarkannya dalam kesesatan. Ini bukan pemaksaan, melainkan balasan yang adil terhadap pilihan manusia yang secara sukarela menutup akses (hidayah) nya sendiri terhadap kebenaran yang masuk melalui indera dan hati.

Rangkaian ayat ini menunjukkan bahwa ujian hidup adalah perjuangan antara fitrah yang suci (QS. 7:172) melawan godaan lingkungan dan hawa nafsu. Ketika manusia gagal menggunakan modalitas spiritual dan fisik yang telah diberikan (QS. 16:78), maka indera tersebut menjadi tidak berfungsi secara spiritual, dan jiwa mereka gagal mencapai keberuntungan (QS. 91:9).

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email
Telegram
Ingin mendapatkan Pahala Jariyah dengan berbagi? Silahkan share ke SOSMED Anda…